Halo teman cerita! Kali ini skala bakal biografi singkat dari salah satu sosok penting dalam perkembangan Islam di Indonesia khususnya di pulau jawa. Kalian kenal Wali songo atau 9 wali? nah dari sembilan wali tersebut terdapat satu tokoh yang sangat berperan penting yaitu Sunan Gunung Djati.
Sunan Gunung Djati
Sunan Gunung Djati atau nama lainnya yaitu Raden Syarif Hidayatullah adalah sosok ulama besar yang merupakan bagian dari walisongo. Sunan Gunung djati lahir pada 1448 Masehi yang merupakan anak dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (merupakan penguasa mesir saat itu) dan Nyai rara Santang atau putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran dan merubah namanya ketika menjadi muslim menjadi Syarifah Mudaim.

Saat usia yang begitu muda Sunan Gunung Djati ditinggal mati oleh ayahnya, setelahnya ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja di Mesir, tetapi ia tidak mau. Waktu berjalan ia dan Ibunya pulang ke tanah jawa dengan maksud berdakwah khususnya di Jawa Barat. Kedudukan Raja di Mesir pun kemudian turun kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sunan Gunung Djati selagi di Mesir berguru kepada ulama-ulama besar di dataran timur tengah karena itu ia dengan umur yang masih mudah sudah memiliki ilmu yang sangat banyak dalam keislaman.
Sunan Gunung Djati dan Perjuangan
Tahun 1475 Sunan Gunung Djati bersama ibunya datang ke Jawa Barat. Sebelum belia datang ia mampir terlebih dahulu ke Gujarat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Namun setelah Ibunya Syarifah Mudaim datang kepada gurunya yang telah meninggal, yaitu Syekh Datuk Kahfi dan menetap di Gunung Jati dengan alasan dekat dengan makam gurunya.
Sunan Gunung Djati dan ibunya meneruskan suatu usaha Syekh Datuk Kahfi. Hal ini menjadikan Raden Syarif Hidayatullah mendapat julukan Sunan Gunung Djati. Tahun 1497 Sunan Gunung Djati di serahi negeri Carubana untuk dipimpinya, karena pangeran cakrabuana sudah berumur atau lanjut usia. Saat itu Sunan Gunung Djati menikah dengan anak dari Nyi Pakungwati.

Perjuangan Sunan Gunung Djati dalam perjalannya bermula pada kenyataanya eyangnya sendiri belum memeluk Islam, karena munculnya Islam sepenuhnya belum diterima oleh masyarakat. Saat memulai dakwahnya dengan kerendahan hati yang a miliki, Sunan Gunung Djati menemui Prabu Siliwang yang merupakan eyangnya untuk meminta izin.
Metode penyebaran atau dakwah yang dilakukan sunan Gunung Djati tidak terlepas dari pesan yang disampaikan eyangnya ketika meminta izin. Pesan tersebut berbunyi “Kau boleh menyebarkan ajaran baru di sini, tetapi jangan dengan paksaan”. Pesan itu yang dipegang Sunan gung Djati sehingga ia memilih menggunakan metode lemah lembut dan kekeluargaan.
Penyebaran Islam dengan metode tersebut membuat masyarakat banyak dan mulai mengikuti ajaran Sunan Gunung Djati. Perjalan waktu berikutnya Sunan Gunung Djati menyadari perihal memperjuangkan islam dengan cara tersebut memiliki kekurangan.
Kerajaan-kerajaan lain mulai terasa terganggu dengan Islam yang mulai berkembang pesat. Baik Kerajaan Majapahit atau Pajajaran, ini ada kaitannya dengan Sunan Gunung Djati membangun hubungan baik dengan kesultanan Demak.
Filosofi Kehidupan Ajaran Sunan Gunung Djati
Perjalanan dakwahnya menghadapi masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda, perkembangannya Sunan Gunung Djari melakukan akulturasi budaya dengan nilai-nilai Islam yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya kepercayaan warga lokal.
Ajaran Sunan Gunung Djati yang sangat terkenal dalam sebuah kalimat yakni:
“Masyarakat dianjurkan untuk memelihara masjid, dan tidak boleh melupakan nya. Selain itu, masyarakat juga dianjurkan untuk membantu dan memelihara fakir miskin.”
Penghujung Sunan Gunung Djati
Sunan Gunung Djati berhasil mengislamkan ribuan orang, mengusir penjajah, menyatukan wilayah kekuasaan dan bahkan juga berhasil dalam menyelesaikan sebuah perundingan beberapa waktu sebelum ia wafat.
Perundingan tersebut merupakan sistem pembagian kekuasaan dan pemberian gelar serta kehidupan penghuni keratin. Perjanjian tersebut juga meninggalkan gamelan yang masih dirawat dan dilestarikan, bahkan gamelan tersebut masih dimainkan oleh beberapa orang keratin pada saat perayaan hari-hari besar Islam.

Sunan Gunung Djati diperkirakan Wafat saat usianya 120 tahun di pertengahan abad ke-15, sekitar tahun 1868 Masehi. Beliau dimakamkan di sebuah bukit di wilayah Cirebon, tepatnya berada di kompleks pemakaman seluas 5 hektar di pinggiran kota cirebon dengan bukit yang bernama Sembung, di kompleks makam tersebut juga terdapat istri Sunan gunung Djati.
Demikian nih teman cerita mengenai Sunan Gunung Djati, kalian sudah dapat hasil penelusuran kecil dari perjuangan Sunan Gunung Djati. Kalian juga dapat datang ke makam Sunan Gunung Djati untuk berziarah, loh!