gajah-mada

Asal Usul Gajah Mada dalam Pusaran Majapahit

Teman Cerita, kalian pasti tahu dong dengan Gajah Mada? Asal usul Gajah Mada tertoreh dalam catatan sejarah sebagai Mahapatih yang membawa kejayaan bagi Majapahit. Karena kiprahnya pula, namanya terpampang sebagai nama universitas negeri di Indonesia dan juga sebagai simbol keamanan negara ini.

Kali ini skalacerita akan bercerita sedikit mulai dari asal usul Gajah Mada hingga kiprahnya dalam menjadi patih tersohor di Majapahit. Simak cerita selengkapnya, ya!

Asal Usul Gajah Mada dan Kemunculan Awal 

gajah-mada
Figur wajah yang dianggap sebagai Gajah Mada (sumber: KITLV)

Di mata Ratu Gayatri, Gajah Mada adalah Mahapatih Majapahit yang sangat cakap, pragmatis, berani, kuat, cerdas, tangkas dan patriotik. Namun, jeleknya ia cenderung tak sabaran, keras kepala, dan agresif. Terkadang ia akan membungkus kekeraskepalaannya dengan kata “iya” tetapi tetap tak mengindahkan orang lain.

Tidak banyak sumber yang bisa menceritakan tentang masa kecil Gajah Mada atau tempat kelahirannya. Namanya baru muncul dalam daftar pengawal elit keraton Majapahit yang terbentuk oleh Raja Jayanagara, anak Raden Wijaya dengan Dara Petak.

Terkait asal usulnya, ada kemungkinan jika ia berasal dari golongan rakyat biasa, dan orangtuanya berasal dari kasta Sudra. Ia menolak bicara tentang asal usulnya dan hanya berkata bahwa ia telah mengarungi samudera, menginjakkan kaki dari pelabuhan ke pelabuhan, dan akhirnya menjadi bagian dari pengawal kerajaan.

Antara Jayanagara dan Gayatri

Sebagai pengawal elit kerajaan Majapahit, Gajah Mada berperan penting dalam menumpas pemberontakan Kuti yang mengancam jiwa Jayanagara. Kuti ialah salah satu bangsawan yang menjadi pengawal kehormatan kerajaan. Namun, entah mengapa tiba-tiba ia berniat menggulingkan raja dan sempat mendudukki kerajaan selama beberapa hari.

Raja Jayanagara berhasil melarikan diri ke desa Badander dengan pengawalan dari pasukan Bhayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada. Saat Raja Jayangara mengungsi, Gajah Mada bekerjasama dengan beberapa perwira sipil dan militer tertinggi kerajaan untuk menumpas pemberontakan Kuti.

Setelah pemberontakan itu selesai, karir Gajah Mada langsung melesat. Ia naik pangkat  menjadi panglima pengawal Istana lalu menjadi Mahapatih Provinsi Kahuripan. 

Kehebatannya terdengar oleh Permasuri Gayatri, ratu pertama Majapahit sekaligus ibu tiri Jayanegara. Saat Gajah Mada menjabat sebagai Mahapatih Kahuripan, Gayatri mulai mendekatinya dan berniat untuk menjadikannya sebagai sekutu dalam mengalahkan Jayanagara. 

Jayanagara dikenal sebagai raja yang jahat, bengis, dan suka dengan pertumpahan darah. Dalam masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan dan rakyat tidak puas dengan kepemimpinannya. 

Puncak kesewenangan Jayangara terjadi ketika ia berniat untuk memperistri kedua anak Gayatri, yang tak lain adalah saudari tirinya sendiri. Gayatri yang murka akhirnya meminta tolong pada Gajah Mada. Secara tidak langsung ia meminta agar Jayanagara disingkirkan. Selain untuk kedua putrinya juga demi masa depan Majapahit.

Gajah Mada akhirnya menyusun rencana untuk menyingkirkan Jayanagara tanpa harus turun tangan. Dalam penyelidikannya, ia mendapat informasi bahwa Tancha, pengawal kehormatan Jayanagara kemungkinan menyimpan dendam atas kematian sahabatnya, Kuti.

Dengan menggunakan Tancha, Jayanagara berhasil mati dibunuh. Pada saat itu, Jayanagara memiliki tumor dan Tancha diminta untuk menyembuhkannya. Tacha sukses mengoperasinya, namun ia mendengar bahwa istrinya berselingkuh dengan Jayangara dan langsung menikamnya. Namun pada akhirnya, Tacha langsung ditikam oleh Gajah Mada.

Berakhirlah Riwayat Jayanagara raja kedua Majapahit tanpa menimbulkan kegemparan di kerajaan. Setelah itu, takhta Majapahit turun kepada Putri Jiwana sebagai Ratu.

Sumpah Amukti Palapa

Setelah kematian Jayanagara, Tribhuwanattunggadewi naik takhta menjadi Ratu Majapahit. Ketika Tribhuwana menduduki takhta, jabatan mahapatih masih di bawah kendali Arya Tadah. Namun, ia sudah tua dan sakit-sakitan dan meminta Gajah Mada menggantikan. Gajah Mada menolak permintaan tersebut karena ia masih jauh dari sempurna dan membutuhkan bimbingan dari seniornya.

Pada 1334, Gajah Mada naik pangkat menjadi mahapatih Majapahit. Sepak terjangnya sudah sangat dikenal. Dalam rapat besar pertamanya yang pada saat itu ratu tidak hadir, ia menyatakan sumpah yang kemudian dikenal sebagai sumpah palapa.

“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” 

Sumpah ini berarti bahwa sebelum ia bisa menyatukan seluruh Nusantara dari Maluku hingga Lombok, seluruh Pulau Jawa termasuk Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, ia tidak akan bisa tenang dan menikmati hidup. Namun, semua orang menertawakan sumpahnya.

Padahal daerah yang ada dalam sumpahnya merupakan kerajaan yang telah lama berdiri daripada Majapahit dan wilayah penting bagi agama, ekonomi, dan lainnya. Ia seolah ingin mengukuhkan keberadaan Majapahit sebagai pewaris kerajaan-kerajaan terdahulu.

Sumpah Palapa ini mendapat pengaruh dari raja Singhasari terakhir, yaitu Krtanegara. Krtanagara pernah mencoba politik Dwipantara yang berniat untuk menguasai seluruh Nusantara. Namun, belum sempat tercapai karena ia mati di tangan Jayakatwang.

Realisasi Sumpah Palapa segera terlaksana. Ia dapat bantuan dari para tentara Majapahit, para kesatria, arya, dan pendukung lainnya. Daerah pertama yang ia taklukan adalah Bali yang sedang terjadi konflik. Target selanjutnya adalah Lombok. 

Pada akhirnya Gajah Mada sukses melakukan sumpahnya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, semua wilayah yang ada dalam sumpah Palapa tunduk kepada Majapahit. Wilayah negara sahabat dan negara vasal Majapahit tercatat dalam Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca.

Perang Bubat: Berlayar Pulang atau Perang!

Raja Hayam Wuruk naik takhta ketika berumur 16 tahun. Pada umur 20 tahunan, ia harus mencari permaisuri. Pilihannya jatuh pada puteri Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi, puteri Kerajaan Sunda. 

Pernikahan antara kerajaan Sunda dan Majapahit bukan hal yang baru. Kakeknya, Raden Wijaya adalah anak dari Rakryan Jayadarma, raja Sunda Galuh. Sedangkan ibunya adalah putri dari Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari.

Lamaran segera dikirimkan oleh utusan Majapahit yang diterima raja Sunda dengan senang hati. Akhirnya Raja Sunda bersama puterinya pergi ke Majapahit. Dua ratus kapal besar dan dikawal oleh lebih dari seribu lima ratus perahu kecil mengiringi mereka.

Hayam Wuruk berjanji akan menyambut secara pribadi kedatangan calon permaisurinya. Namun, Gajah Mada tidak setuju karena dalam pandangannya kerajaan Sunda adalah kerajaan bawahan Majapahit.

Raja Sunda tidak terima dan marah atas penghinaan tersebut. Ia mengatakan hanya ada dua pilihan baginya yaitu berlayar pulang atau perang. Tanpa bisa dicegah, terjadilah perang yang mengakibatkan raja Sunda beserta para pengawalnya mati serta para istri beserta Putri Dyah Pitaloka bunuh diri.

Rencana perayaan pernikahan itu berakhir dengan lautan darah. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357.

Hayam Wuruk marah akan kejadian tersebut. Para pejabat kerajaan menyalahkan Gajah Mada atas peristiwa tersebut. Hasilnya Gajah Mada meminta maaf dan mengajukan permohonan cuti dengan menghabiskan waktu di tanah desa miliknya.

Dalam Nagarakrtagama tertulis bahwa bertahun-tahun kemudian, medan perang Bubat menjadi area rekreasi khusus tempat raja mengundang para tamu untuk memperagakan permainan perang-perangan. Mungkin ini salah satu raja untuk menguburkan memori kelam tentang perang antara Sunda dan Majapahit.

Rasa benci antara Sunda dan Jawa masih terasa sampai beratus-ratusa tahun lamanya. Bahkan pernah ada perkataan bahwa pantang bagi orang Jawa untuk menikah dengan orang Sunda, dan begitu sebaliknya.

Akhir dari Gajah Mada

Karir Gajah Mada sebagai mahapatih merosot tajam setelah perang Bubat. Peristiwa itu menjadi noda hitam dalam karirnya sebagai Mahapatih. Setelah itu, tidak banyak cerita mengenai sepak terjangnya lagi.

Kabar mengenai Gajah Mada terdengar Hayam Wuruk sekembalinya dari Simping untuk melakukan upacara sraddha. Disebutkan bahwa ia sedang sakit keras. Segala upaya dikerahkan untuk mengobatinya. Namun, takdir berkata lain, pada 1364 Gajah Mada harus mangkat.

Posisi Mahapatih Majapahit tidak pernah terisi setelah kepergian Gajah Mada. Raja beserta para pejabatnya menganggap bahwa tidak ada yang bisa menggantikannya. Sebagai gantinya, raja mengangkat beberapa Mahamantri Agung untuk membantunya mengurus kerajaan. 

Teman cerita, itulah cerita singkat tentang asal usul Gajah Mada, seorang mahapatih yang membawa Majapahit ke masa keemasannya, beserta sepak terjangnya. Sampai jumpa di cerita rupa manusia selanjutnya, ya!

Baca juga: Jayapattra dan Proses Pelaksanaan Hukum di Masa Jawa Kuno

Referensi

  1. Drake, E., & Budiman, M. (2012). Gayatri Rajapatni: perempuan di balik kejayaan Majapahit. Ombak.
  2. Mien, Ahmad Rifai. (2017). Desawarnana : Saduran Kakawin Nagarakertagama Untuk Bacaan Remaja. Komunitas Bambu
  3. Munandar, A. A. (2011). Catuspatha Arkeologi Majapahit. Wedatama Widya Sastra.