Belum hilang dari ingatan gempa bumi berkekuatan 6.7 SR yang mengguncang beberapa wilayah di Jawa Timur pada 10 April 2021 lalu. Gempa bumi yang terjadi pada pukul 2 siang tersebut berpusat di 90 km barat daya Kabupaten Malang. Pusat gempa berada di kawasan yang dikenal sebagai pusat gempa karena menjadi tempat pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Namun ternyata, gempa yang membuat Jawa berguncang ini telah terjadi sejak lama dan salah satunya pada masa Jepang menjajah Nusantara.

Jawa Berguncang: Antara Merapi dan Lempeng
Teman cerita, gempa bumi yang berpusat di selatan Jawa sebagai akibat dari pergerakan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia kerap terjadi. Salah satunya pernah terjadi di masa pendudukan Jepang. Pada 23 Juli 1943, guncangan keras dirasakan oleh penduduk di beberapa kota di Jawa seperti Yogyakarta, Surakarta, Cilacap, Purwokerto, dan Semarang.
Dalam Katalog Gempa Bumi Signifikan dan Merusak 1821 – 2018 terbitan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2019), pusat gempa bumi berada di selatan Jawa dan getarannya terasa hingga Garut. Meskipun guncangannya terasa cukup kuat, gempa bumi tidak diikuti dengan tsunami, seperti gempa yang pernah mengguncang Banyuwangi dan Pangandaran yang diikuti tsunami pada 1994 dan 2007 lalu.
Awalnya gempa bumi yang terjadi saat itu ada hubungannya dengan aktivitas Gunung Merapi. Namun, Reinout Willem van Bemmelen menyangsikan hal itu karena sepengamatannya Gunung Merapi dalam kondisi yang aman, tulisnya dalam Merawat Ingatan: Bencana Alam dan Kearifan Lokal di Pulau Jawa (2019).

Jejak gempa bumi sebelum letusan Merapi yang terjadi pada 1930-1931 masih membayangi masyarakat saat itu. Marsis Sutopo dkk dalam Menyelamatkan Candi Borobudur dari Erupsi Merapi (2011) juga menyebutkan bahwa letusan ini merupakan salah satu letusan Merapi pada periode modern sejak 1822 dan letusan yang terbesar di abad ke-20.
Reinout Willem van Bemmelen dalam The Geology of Indonesia Vol I (1949), mencatat secara rinci mengenai jumlah korban dan bangunan-bangunan yang rusak akibat guncangan gempa. 213 orang meninggal dunia. Korban terbanyak berasal dari Kebumen dengan 41 orang, kemudian Tegal 32 orang, dan diikuti dengan Bantul 31 orang. 1.842 orang luka dan 2.096 orang menderita luka ringan. Sementara itu, guncangan membuat 12.603 rumah runtuh, yang terbanyak berasal dari Cilacap 3.500 rumah dan Bantul 2.682 rumah. 166 rumah di beberapa daerah lainnya mengalami rusak berat dan 15.275 rumah mengalami rusak ringan.
Berbagai Bantuan Diberikan
Bantuan-bantuan segera datang untuk membantu para korban. K.H. Mas Mansur berhasil mengumpulkan 21.078 gulden melalui PUTERA untuk disumbangkan kepada para korban bencana alam, seperti yang ditulis dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946 Perjuangan dan Pemikiran (2005). Perwakilan Kantor Pusat Pemerintahan Militer Jepang dan juga pihak Kesultanan Yogyakarta mengunjungi para korban dan juga memberikan bantuan, tulis Devi Riskianingrum dalam tulisannya yang dimuat Jurnal Paramita Vol. 2 No. 1 2013.
Devi juga menambahkan, bantuan tidak hanya berasal dari tokoh-tokoh atau pemerintah. Masyarakat juga menunjukan kepedulian terhadap para korban gempa bumi dengan berbagai cara. Di wilayah Klaten diselenggarakan pagelaran ketoprak dalam rangka penggalangan dana untuk para korban gempa bumi. Sementara di Kotagede, pengggalangan dana diadakan dengan melaksanakan pertandingan sepakbola persahabatan.
Teman cerita, gempa bumi di Negara Kepulauan ini pada akhirnya tidak akan pernah usai. Baik dari dulu, sekarang, hingga nanti nampaknya “Jawa Berguncang” akan menjadi headline yang akan bisa kita lihat. Akan selalu ada berita-berita mengenai guncangan bumi yang terjadi di pelosok Indonesia lainnya pula. Namun, kita semua sudah harus bersiap dan belajar dari peristiwa gempa bumi sebelumnya untuk bisa selamat dan bertahan hidup. Stay safe, teman cerita!