Kapal Bercadik di Relief Borobudur

Berbagai Macam Jenis Kapal di Relief Candi Borobudur

  • Published
  • Posted in Purbakala
  • 6 mins read

Berbagai jenis kapal di Relief Candi Borobudur merupakan sebuah penggambaran mengenai kapal di masa lalu. Jika teman cerita ada yang pernah pergi ke Candi Borobudur, pasti tidak asing dengan adanya panil relief yang terpahat pada sekeliling candi. Panil relief Borobudur ini menceritakan bagaimana gambaran masyarakat di masa lalu. Beberapa panil relief ini kemungkinan besar menggambarkan mengenai bentuk kapal yang ada di masa itu. 

Penggambaran kapal dimulai dari bentuk yang paling sederhana seperti kapal djukung sampai perahu bercadik besar. Kapal – kapal ini merupakan model kapal Indonesia yang eksis di abad ke-7 Masehi yang kemudian menjadi leluhur kapal – kapal modern seperti pinisi dan kora – kora. 

Pembuatan replika kapal bercadik dan tulisan dari berbagai arkeolog telah membuktikan bahwa kapal ini dapat digunakan walaupun di zaman modern. Salah satu arkeolog kondang N.J. Krom telah menuliskan beberapa jenis kapal yang ada dalam relief Borobudur. Berikut empat jenis kapal yang ada pada relief candi Borobudur.

Jenis Kapal di Relief Candi Borobudur

1. Kapal Djukung

Kapal Djukung Pada Relief Borobudur
Kapal Djukung Pada Relief Borobudur

Kapal Djukung memiliki bentuk paling sederhana karena terbuat dari kayu yang bagian tengahnya dilubangi. Ada dua relief yang menggambarkan keberadaan kapal ini. 

Pada relief pertama ia digunakan sebagai kapal ferry atau kapal penumpang. Karakteristik pada kapal ini adalah bagian bawahnya berbentuk cekung dan rata di bagian atasnya. Bagian belakang atau buritan kapalnya mengarah vertikal dengan ujungnya berbentuk landai dan diratakan. Bagian dasarnya sederhana tanpa lunas, tetapi mempunyai bagian penyangga di bagian bawah untuk membantu kemudi kapal.

Kemudinya sendiri merupakan dua buah sampir yang diikatkan di bagian belakang kapal. Terdapat empat tiang yang diikatkan pada badan kapal yang digunakan sebagai atap, lalu di ujung atap terdapat akhir dari cabang tiang tersebut. Bentuk perahu seperti ini masih sering digunakan di kepulauan Indonesia, salah satunya di Banjar, Kalimantan.

2. Kapal Bercadik

Kapal Bercadik Pada Relief Borobudur
Kapal Bercadik Pada Relief Borobudur

Kedua adalah kapal bercadik. Pada candi Borobudur kira-kira ada lima panil relief yang menggambarkan perahu bercadik ini. Tipe ini memiliki tiang yang besar dan bagian belakangnya mirip dengan kapal kora – kora dari Maluku. Kapal ini adalah kapal terbesar yang dibuat sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara. 

Kapal bercadik merupakan kapal dengan tiga tiang lurus dan tiga tiang yang bengkok. Di atas badan kapal terdapat sebuah sandaran atau pegangan yang berguna untuk mempertahankan posisi bengkok kapal atau sebagai pegangan para kru ketika angin kencang dan memberikan stabilitas pada badan kapal. Kedua tiang tersebut memiliki layar persegi, di bagian depan terdapat layar yang berbentuk segitiga dan di bagian atas layar diikat dengan tali. Perahu bercadik ini menggunakan dayung untuk menggerakan kapal. Layar hanya terlihat di bagian depan dan tiang kedua memiliki anjungan sendiri.

Pada gambar relief terdapat beberapa perahu kecil yang digunakan untuk mendarat ke tempat lain. Pada kapal bercadik yang lebih besar terdapat empat pasang tiang dan pendayung. Di tiang depan terdapat dua anjungan untuk mengikat tali. Pada relief diperlihatkan arah angin dengan melihat arah kibaran panji dan bendera di atas tiang kapal. Layar di bagian depan berbentuk kotak yang dikencangkan pada  dua anjungan. Terdapat perahu seperti djukung di sekitarnya tetapi geladaknya lebih tinggi dan ada kapal satu tiang dengan layar kotak

3. Perahu Bercadik Kecil

Kapal Bercadik Kecil Pada Relief Borobudur
Kapal Bercadik Kecil Pada Relief Borobudur

Jenis kapal Borobudur ketiga adalah kapal bercadik yang berukuran lebih kecil dan tidak memiliki geladak. Kapal ini hanya memiliki satu layar melengkung dan dua kisi di bagian atas. Selain itu, ada dua tiang yang terdapat di dua ujung kapal dan anak tangga. Terdapat penahan sebagai sandaran yang terbuat dari bambu dan menempel dari belakang hingga depan. Ornamen pada bagian depan kapal bentuknya seperti bunga kemangi. 

Kapal bercadik lainnya memiliki satu layar, geladaknya berbeda dari yang lain, dayung dan pendayungnya dapat terlihat. Tiangnya tampak memiliki semacam kerekan atau bulatan di depan dan belakang kapal. Pada kapal ini kemungkinan tidak ada ruangan geladak atau semacamnya dan juga layarnya lebih rendah.

4. Kapal Lainnya

Ilustrasi Kapal Lainnya
Ilustrasi Kapal Lainnya

Kapal lainnya ini adalah kapal yang tidak bercadik dan penggambarannya mirip dengan kapal janggolan dari Jawa Timur. Bentuk fisik kapalnya terdapat anjungan yang terbuat dari balok kecil. Arah dari anjungannya sendiri lurus dan miring ke arah atas sama seperti jukung, terdapat sebuah tiang dan tiang itu tidak tergabung. 

Bagian kemudi tidak diperlihatkan, memiliki layar berbentuk persegi dan sepertinya di bagian anjungan dapat diduduki dan di bagian buritan terdapat tempat untuk berdiri. Terlihat dalam relief beberapa kru sedang menurunkan layar, memancing, dan juga juru mudi di bagian buritan.

Jenis Kapal di Relief Candi Borubudur dan di Dunia Nyata

Perahu Bercadik
Ilustrasi Perahu Bercadik

Beberapa data sejarah terutama tulisan asing dari pelayar Cina dan Arab menuliskan mengenai perahu kepulauan Indonesia dan Kerajaan Sriwijaya yang penggambarannya memiliki cadik dan sama dengan relief Borobudur. Beberapa petualang Eropa juga pernah melihat perahu – perahu bercadik besar pada abad ke-15 di sekitar Laut Jawa.

Keberadaan perahu bercadik pada relief dan yang sampai saat ini masih bisa kita lihat, membuat kita bertanya-tanya. Dari manakah sebenarnya asal perahu bercadik ini.

Perahu bercadik ternyata merupakan perahu asli dari orang – orang Austronesia yang bermigrasi dari daerah Sungai Mekong dan Yunan, setelahnya perahu ini menyebar ke daerah – daerah di Nusantara, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan juga Madagaskar. 

Secara umum perahu bercadik memiliki cadik atau sebuah kayu atau bambu di sisi kanan dan kiri atau salah satu bagian kapal yang berguna untuk menyeimbangkan kapal, memperkuat kapal dari ombak, dan juga sebagai tempat duduk para pendayung. Hingga saat ini banyak perahu tradisional di Indonesia yang memakai cadik sebagai warisan budaya dan merupakan kapal yang efektif digunakan di lautan Nusantara.

Kapal Samudra Raksa
Perahu Bercadik bernama Kapal Samudra Raksa

Perahu bercadik di relief borobudur pernah direalisasikan oleh seorang petualang Inggris bernama Philip Beale yang pernah melayani British Royal Navy. Ia terkagum – kagum dengan kapal dalam relief tersebut dan ingin mencoba melakukan pelayaran dengan kapal tersebut. 

Philip bersama Nick Burningham, seorang arkeolog Australia membuat kapal tersebut dengan bantuan tenaga lokal dari Bali yang dipimpin oleh Assad Abdullah al-madani sebagai tukang kayu dalam pembuatan kapal tersebut. Setelah rampung, kapal ini diberi nama Samudra Raksa dan digunakan berlayar pada 15 Juli 2013 dari Tanjung Benoa, Bali dan melewati rute kayu manis kuno yakni ke Accra, Afrika. Setelahnya mereka berlayar melewati Madagaskar dan kota – kota di bagian barat Afrika serta melewati Tanjung Harapan. 

Akhirnya Beale dan Nick membuktikan bahwa kapal buatan Jawa pada abad ke-7 tersebut dapat melayari Samudra Hindia dan berdagang dengan bangsa yang jauh dari kepulauan Nusantara.

Kapal yang telah berlayar dari Jakarta ke Afrika ini masih bisa teman cerita lihat di tempat peristirahatan terakhirnya yaitu Museum Samudra Raksa. Jika kalian berkunjung ke Candi Borobudur, jangan lupa untuk pergi ke museumnya!

Sumber

Referensi:

  1. Krom, N.J. 1927. Barabudur Archaeological Description. Delhi: Gian Publishing House
  2. Jastro, Elymart. 2010. Kajian Perahu Tradisional Nusantara di Museum Bahari, Jakarta Utara (Proses Produksi Pesan Tentang Teknologi Perahu). Depok: Skripsi
  3. Putra, Dhedy Arya. 2012. Indonesian Maritime Museum di Yogyakarta, Pendekatan Pada Teori – Teori Proporsi Pada Arsitektur. Surakarta: Publikasi Ilmiah
  4. Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama