Teman cerita, ide tentang kota ramah lingkungan sebetulnya bukan suatu hal yang baru bagi negara kita, Indonesia. Satu abad yang lalu, Pemerintah Kolonial Belanda pernah menanamkan konsep kota ramah lingkungan di kota-kota Indonesia.
Berdirinya kota ramah lingkungan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi dunia yang sedang bergejolak dengan masalah lingkungan di awal abad 20. Permasalahan ini timbul sebagai efek samping dari Revolusi Industri yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-18.
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, lahirlah sebuah konsep kota ramah lingkungan yang bernama “kota taman”. Konsep ini merupakan buah pemikiran Sir Ebenezer Howard, seorang ahli perkotaan asal Inggris yang tertarik menuangkan idenya dalam persoalan lingkungan perkotaan.
Ada dua poin penting dari konsep kota taman yang menjadikannya sebagai kota ramah lingkungan. Pertama, penataan unsur penyusun kota sangat memperhatikan faktor fungsionalitas dan batasan penggunaan lahan. Kedua, ruang terbuka hijau mendominasi kota dengan persentase 30% dari luas kota keseluruhan.
Konsep kota rancangan Howard ini kemudian mendapat sambutan baik dari dunia Internasional. Para pemangku kebijakan di Eropa dan Amerika menilai bahwa konsep kota taman adalah solusi paling rasional dalam penyelesaian masalah lingkungan perkotaan.
Negara-negara Eropa dan Amerika dengan segera menjadikan konsep kota taman sebagai acuan pembangunan kota barunya. Pembangunan kota Letchworth di Inggris tahun 1905 menandai awal penerapan konsep kota taman di dunia.
Saat itu, Indonesia yang masih berada di bawah jajahan Belanda juga masuk ke dalam rencana penataan kota dengan konsep kota taman. Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan konsep kota taman di beberapa kota penting pemerintahan kolonial.
Kota Ramah Lingkungan Pertama di Indonesia
Kota taman pertama di Indonesia berada di daerah selatan Batavia. Pembangunan kota ramah lingkungan ini berlangsung sejak tahun 1920 di daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Menteng.
Berdirinya Menteng tidak terlepas dari kondisi lingkungan Oud Batavia (pusat Pemerintahan Kolonial) yang tidak sehat dan menimbulkan wabah mematikan. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Oud Batavia ke Weltervreden dengan Menteng sebagai salah satu wilayah bagiannya.

Pembangunan Menteng berlangsung secara bertahap, bangunan penyusun kota terbagi ke dalam blok-blok tertentu berdasarkan fungsinya sebagai permukiman atau fasilitas umum. Rancangan Bangunan hunian dan bangunan umum menggunakan gaya Indis, perpaduan antara arsitektur Belanda dengan arsitektur lokal.
Perpaduan tersebut berfungsi untuk menyesuaikan iklim tropis di Indonesia dan menciptakan sirkulasi udara yang baik. Sanitasi juga menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam setiap rancangan bangunan. Sistem pembuangan limbah rumah tangga tertata sedemikian rupa agar tidak mencemari lingkungan, terutama aliran air.
Ruang terbuka hijau mendominasi wilayah menteng dengan adanya 4 taman kota dan pepohonan di sepanjang jaringan jalan. Ketersediaan ruang terbuka hijau ini punya peran penting dalam struktur kota taman Menteng. Selain sebagai sumber oksigen, ruang terbuka hijau juga berperan untuk menyerap polutan yang dihasilkan oleh kendaraan dan kegiatan industri.
Perkembangan Kota Taman di Indonesia
Beriringan dengan perkembangan Menteng sebagai kota taman, kota-kota lain juga mulai menerapkan konsep serupa dalam pembangunannya. Belanda menerapkan konsep kota ramah lingkungan tersebut di wilayah Indonesia lainnya seperti Bandung, Bogor, Semarang, Malang, Medan, dan Padang.
Rancangan pembangunannya sebagian besar menggunakan jasa seorang arsitek Belanda bernama Herman Thomas Karsten. Ada satu hal menonjol dari kota rancangan Karsten yang membedakannya dengan konsep kota dari Sir Ebenezer Howard, yaitu penyesuaian dengan iklim tropis.
Implementasi dari upaya penyesuaian tersebut terletak pada struktur ruang hijau dan haluan besar konstruksi bangunan perkotaan. Sebagai contoh, pada struktur ruang hijau, Karsten menjadikan pohon perindang sebagai tanaman penyusun utama.
Menurut Karsten, pohon perindang yang identik dengan daerah tropis punya fungsi yang sangat vital dalam sebuah kota ramah lingkungan. Pohon perindang berperan sebagai penangkal paparan sinar matahari langsung, sumber oksigen, dan tempat tinggal makhluk hidup selain manusia.

Sementara pada perencanaan bangunan perkotaan, Setiap kavling harus menyisihkan 60-70% lahan sebagai taman. Konstruksi bangunannya menyesuaikan dengan iklim tropis, skala bangunan dibuat tinggi dengan pintu dan jendela yang besar untuk menciptakan sirkulasi udara yang baik pada setiap bangunan.
Konstruksi bangunan tropis tersebut berpadu dengan sentuhan estetika dari banyak arsitek bangunan asal Belanda. Gaya arsitektur Indis, Art Deco, Nieuwe Bowwen, dan Amsterdam School menjadi warna-warni dari keindahan bangunan-bangunan penyusun kota.
Baca Juga: Berkenalan dengan Konsep Kota Berkelanjutan Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Lebih Baik
Meski kota-kota taman tersebut sangat kental akan nuansa Belanda, paling tidak ini adalah modal awal pembangunan di masa selanjutnya. Sayangnya, pada masa pasca kemerdekaan, perkembangan kota-kota tersebut malah melenceng dari konsep awalnya.
Di masa sekarang, sisa dari pengembangan konsep kota ramah lingkungan di Indonesia pada masa lalu cukup sulit untuk diidentifikasi. Bangunan-bangunan baru mulai memadati pusat perkotaan tanpa adanya perencanaan tata guna lahan yang memadai.