Pernah mendengar nama Mardijker? Memang nama ini terdengar agak asing dalam sejarah Indonesia khususnya sejarah Jakarta. Padahal beberapa dokumen sejarah pernah mencatat bahwa orang-orang Mardijker pernah hidup dan mendiami wilayah Batavia. Bahkan beberapa diantaranya menjadi petinggi-petinggi Batavia pada saat itu.
Asal Usul
Pada sekitar abad ke 17 Belanda dan Portugis bersaing terutama dalam bidang ekonomi. Keduanya sama-sama mencoba berlayar ke wilayah Asia termasuk juga ke Nusantara. Di Nusantara Portugis sudah lebih dahulu masuk daripada Belanda. Mereka kemudian berhasil menguasai salah satu pelabuhan terpenting saat itu yaitu Selat Malaka. Belanda yang tidak mau kalah kemudian berhasil merebut Selat Malaka dari Portugis pada 1641.
Seperti yang kita tahu, bahwa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) juga sudah muncul di Batavia. Setelah kedatangan Belanda, pengaruh bangsa Portugis mulai pudar. Pemerintah Belanda pada masa itu membawa orang-orang Malabar-India dan pesisir Koromandel ke Batavia. Paramita dalam buku berjudul Bunga Angin Portugis di Nusantara (2008) menjelaskan kemungkinan kelompok Mardijker yang asli berasal dari India Selatan. Mereka kemungkinan bekas budak yang ditangkap dari Afrika atau komunitas lokal.
VOC menjadikan orang-orang tersebut sebagai tentara yang bertugas untuk menjaga Batavia dari pemberontak serta sebagai tentara Belanda yang dikirim ke luar Nusantara. Selain tentara, juga terdapat budak yang biasanya membantu Belanda untuk menjadi awak kapal saat mereka kekurangan awak. Kelak orang-orang inilah yang akan disebut sebagai orang Mardijker.
Pemerintah Belanda pada saat itu kemudian membebaskan status mereka yang semula merupakan budak atau tentara. Mereka disebut sebagai kelompok merdequas, atau mardijkers menurut lafal Belanda, berasal dari istilah Sansekerta maharddhika, yang secara harfiah berarti orang yang bebas atau merdeka. Namun untuk mendapatkan status bebas mereka maka harus ditebus dengan berpindah keyakinan dari sebelumnya Katolik menjadi Protestan (Ganap, 2011:2-4).
Gaya Eropa tapi bukan Orang Eropa
Para Mardijker ini memiliki gaya yang unik. Mereka bukan orang Eropa tapi gayanya seperti orang Eropa. Seorang traveller bernama Jacob Haafner yang datang ke Batavia pada saat itu menuliskan bahwa
“The black Portuguese who are rich parade it excessively, especially in their dress; still, for those not used to such a sight there is no stranger or more contradictory display to be seen than these people in the richest clothing, with ruffles at their wrists, but bare foot, wandering along the street with neither shoes nor stockings.”
Terjemahan:
“Orang Portugis kulit hitam yang kaya berpawai secara berlebihan, terutama dalam pakaian mereka; namun, bagi mereka yang tidak terbiasa dengan pemandangan seperti itu, tidak ada tampilan yang lebih aneh atau lebih kontradiktif untuk dilihat daripada orang-orang dengan pakaian terkaya ini, dengan kerutan di pergelangan tangan mereka, tapi tanpa alas kaki, berkeliaran di sepanjang jalan tanpa sepatu atau stoking. “

(sumber: KITLV)
Orang-orang Belanda dan non Indonesia yang baru datang ke Batavia pasti akan keherenan dengan pemandangan yang tidak biasa ini. Kelompok Mardijker mengenakan pakaian sutra dan topi berbulu khas Portugis tetapi tidak menggunakan sepatu.
Seperti yang disebutkan diatas, warna kulit mereka yang gelap namun gaya layaknya orang portugis membuat orang Mardijker disebut sebagai black portuguese. Ciri ini tentu membuat mereka mencolok diantara masyarakat pada masa itu. Meskipun orang-orang Mardijker berdarah Asia namun mereka memandang dirinya sebagai orang Portugis.
Meskipun belum pernah datang ke Portugal, orang-orang Mardijker bisa berbahasa Portugis. Efeknya mereka merasa menjadi bagian dari orang Eropa. Untuk membedakan dengan orang Asia yang lain orang Mardijker juga ingin memiliki nama yang berbeda dengan Belanda atau pribumi seperti de Silva, da Costa, de Mayo dan lain lain.
De Haan memberikan gambaran bagaimana orang-orang Mardijker ini, pertama kaum Mardijker berdarah Asia, bukan berasal dari tempat mereka menetap, secara umum beragama Kristen, Berbahasa Portugis, dan Berpakaian seperti orang Eropa.
Kampung Tugu
Pada abad ke-17 populasi orang Mardijker berada pada puncaknya. Kelompok masyarakat Tugu kemungkinan berasal dari kelompok Mardika yang diberikan sebidang tanah pada tahun 1661 oleh VOC sebagai bentuk balas jasa terhadap mereka. Tanah tersebut diberikan secara penuh untuk orang Mardijker dan bebas pajak. (Abdurachman, 2008 : 33)
Kampung Tugu pada masa itu juga sering disebut tanah serani (diduga berasal dari kata Nasrani) karena mayoritas yang meninggali wilayah tersebut ialah orang orang kristen. Pada awalnya hanya sekitar 23 kristen yang mendiami wilayah Tugu. Kemudian meningkat sekitar 50 orang pada tahun 1676. Lalu pada 1735 bertambah menjadi sekitar 134 orang dewasa. Kampung Tugu pada awalnya tidak layak ditempati karena merupakan daerah rawa dan hutan. Namun penduduk nya mengubah menjadi tempat yang layak huni. Lama kelamaan Kampung Tugu diubahnya menjadi tempat bertani dan berkebun. Pola pemukiman masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu memiliki komponen komponen pendukung, yaitu Gereja Tugu, pemakaman asli Tugu, Rumah Kuno, dan pemukiman baru. (Paat, 2016)

Kampung Tugu merupakan benteng terakhir dari identitas kaum Mardijker. Sejak abad ke-18 kelompok ini terus menyusut. Remco Raben (2007) mencatat, jika tahun 1709 jumlah imigran terbesar di pinggiran Batavia masih didominasi kaum mardijker, maka tahun 1719 jumlah imigran China menjadi yang tertinggi, 7.550 jiwa. Saat itu, jumlah kaum mardijker merosot menjadi 6.634 jiwa. Tahun 1739, jumlah imigran China mencapai 10.574 jiwa, sementara kaum mardijker 5.247 jiwa, dan etnis Bugis 4.521 jiwa. Kini tersisa sekitar 700 keluarga di Kampung Tugu. Warga Kampung Tugu hingga sekarang masih melaksanakan tradisi leluhur mereka. Bukan tidak mungkin akan ini terus menyusut bila kebudayaan, identitas, dan memori leluhur mereka di lupakan.

Mardijker bukanlah Eropa bukan pula pribumi asli Nusantara. Tetapi mereka hadir dan menjadi bagian dari sejarah Jakarta. Kampung Tugu dan Mardijker menjadi sedikit gambaran betapa kompleksnya masyarakat Batavia di masa lalu. Oleh karena itu mari kita tetap lestarikan identitas dan sejarah kita.
Baca juga: Orang Borgo, Etnis Campuran Eropa dan Pribumi di Manado
Referensi
- Choudhury, M. (2014, January). The Mardijkers of Batavia: Construction of a Colonial Identity (1619-1650). In Proceedings of the Indian History Congress (Vol. 75, pp. 901-910). Indian History Congress.
- Ganap, V. (2011). Krontjong Toegoe. Yogyakarta : BP ISI Yogyakarta.
- Paramita R. Abdurachman. (2008). Bunga Angin Portugis di Nusantara, Yayasan Obor, Jakarta
Raben, R. (2007). Seputar Batavia. Etnisitas dan otoritas di Ommelanden, 1650-1800. In K. Grijns, & P. J. M. Nas (Eds.), Jakarta – Batavia. Esai sosio-kultural (pp. 101-122). Banana and KITLV.