Hai, teman cerita kembali lagi ke era Hindu-Buddha di Mataram Kuna. Apakah dari kalian ada yang pernah membaca kisah Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani? Sebenarnya siapa mereka dan bagaimana kisahnya?
Ternyata, kisah mereka terekam dalam perjalanan kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah. Keduanya merupakan pasangan raja dan ratu dengan latar belakang belakang agama yang berbeda yang saling bergandengan tangan dalam membangun Mataram Kuna. Yuk, ikuti kisah mereka berdua.
Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani
Nama Rakai Pikatan tertera dalam silsilah raja-raja yang memerintah di Jawa Tengah. Sebut saja Prasasti Mantyasih dari Kedu yang berangka tahun 907 Masehi dan Prasasti Wanua Tengah III dari Temanggung dengan angka tahun 908 Masehi. Dari penemuan beberapa prasastinya, Rakai Pikatan diperkirakan memerintah antara tahun 847-855 Masehi.
Sementara itu, nama Pramodhawardhani terpahat pada beberapa prasasti seperti Prasasti Karangtengah, Prasasti Tri Tepusan dan prasasti Rukam. Dalam prasasti Karangtengah yang berangka tahun 824, Pramodhawardhani tertera bersama tokoh bernama Samaratungga mengenai pendirian bangunan Jinālaya bertingkat.
Dalam prasasti Tri Tepusan yang berangka tahun 842 Masehi disebutkan tokoh Çrī Kahulunnan yang J. G. de Casparis kaitkan dengan Pramodhawardhani. Kemudian, pada prasasti Rukam yang berangka tahun 907 Masehi mengenai adanya tanah sima dan bangunan suci yang diberikan pada Nini Haji Rakryan Sanjiwana.
Dua Keyakinan Berbeda
Seperti banyak informasi yang telah teman cerita tahu, Jawa Tengah dalam kurun waktu abad VIII-X Masehi, dikuasai oleh dua dinasti berbeda. Pertama, Dinasti Sanjaya yang identik dengan agama Hindu Saiwa. Kedua, Dinasti Sailendra yang berciri agama Buddha. Namun, para ahli sejarah kuna belum sependapat mengenai adanya keberadaan dua dinasti berbeda keyakinan yang memerintah di Jawa Tengah ini. Terlepas dari hal tersebut, perbedaan kepercayaan pada masyarakat Jawa Kuna merupakan sesuatu yang tidak dapat disangkal keberadaannya.
Hal ini tampak dari pengamatan kita pada candi sebagai bangunan suci yang masyarakat gunakan untuk menjalankan ritual peribadatan mereka. Candi di Jawa Tengah umumnya bernapaskan Hindu atau Buddha yang dapat dibedakan dari ciri keagamaannya. Candi Buddha memiliki atap puncak berbentuk stupa, sedangkan candi Hindu memiliki atap puncak yang disebut dengan ratna, amalaka dengan bentuk meruncing pada ujung atapnya.
Selain itu, perbedaaan mendasar pada percandian Buddha dan percandian Hindu di Jawa Tengah yaitu pada keberadaan arca dan relief di suatu percandian. Arca pada percandian Buddha biasanya berupa arca-arca Buddha dan Bodhisattva yang diikuti dengan adanya relief yang merepresentasikan ajaran dan kisah-kisah Buddha.
Sedangkan, percandian Hindu biasanya memiliki arca yang menggambarkan dewa-dewa yang dikenal dalam ajaran Hindu seperti Dewa Brahma, Visnu, Mahesvara (Siva), Ganesha, Durga, arca-arca Lokapala (penjaga arah mata angin). Terdapat juga relief yang menceritakan kisah-kisah dalam ajaran Hindu seperti Kresnayana, dan kepahlawanan Rama dalam kisah Ramayana.
Hingga pada suatu masa, Rakai Pikatan yang beragama Hindu Saiwa naik tahta bersama Pramodhawardhani yang beragama Buddha dan memerintah kerajaan Mataram Kuna.
Pandangan ini pertama kali hadir dalam interpretasi J.G. de Casparis yang mengidentifikasi banyaknya jumlah kata anumoda Sri Kahulunnan disamping penulisan gelar Sri Maharaja Rakai Pikatan pada perwara percandian Plaosan Lor. Beliau berpendapat bahwa banyaknya jumlah gelar Sri Maharaja dan Sri Kahulunnan tersebut sebagai gelar bagi raja dan ratu yang menyumbang dalam pembangunan percandian Plaosan.
Rakai Pikatan diketahui memeluk agama Hindu Saiwa berdasarkan prasasti Sivagrha yang memuat kisah pendirian percandian ditujukan bagi dewa Trimurti. Pramodhawardhani sendiri memeluk Buddha setelah beberapa prasasti menyebutkan namanya dalam berbagai pendirian bangunan suci bercorak Buddha bersama ayahnya, Samaratungga dari Dinasti Sailendra
Plaosan dan Prambanan: Bukti Cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani


Percandian Plaosan dan Prambanan dipercaya sebagai simbol adanya toleransi dua keyakinan yang saling berbeda di tengah masyarakat Jawa Kuna abad VIII-X Masehi. Kedua percandian dipercaya dibangun pada masa pemerintahan yang sama dan digagas oleh dua tokoh berbeda keyakinan tersebut. Sehingga berdiri dua kompleks percandian besar nan megah di Jawa Tengah yang istimewa.
Prambanan dengan tiga candi induk beserta ratusan candi perwara yang didirikan untuk persembahan dewa trimurti dibangun sangat dekat dengan percandian bercorak agama Buddha yakni, percandian Sewu, candi Bubrah, percandian Lumbung dan candi Gana.
Selain itu, bentuk tata letak bangunan percandian Prambanan memiliki persamaan dengan percandian Buddha lainnya yaitu adanya candi induk yang dikelilingi ratusan candi perwara. Sementara itu, candi bernapaskan agama Hindu umumnya memiliki pola satu candi induk dengan tiga perwara di hadapannya.
Percandian Plaosan memiliki kemiripan dengan candi Hindu. Hal ini terlihatpada atap candi perwara dan candi induknya yang berbentuk ratna dengan bentuk pipih dan meruncing pada ujungnya. Keistimewaan lain pada percandian Plaosan dapat ditemui dari adanya dua candi induk. Banyak anggapan bahwa dua candi induk tersebut merupakan bentuk perlambangan kisah cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani. Candi induk utara sebagai Pikatan dan candi induk selatan sebagai Pramodhawardhani.
Nah, itulah sekelumit cerita mengenai Rakai Pikatan dan Pramodhawadhani. Kisah cinta berbeda keyakinan, tapi penuh keseimbangan dalam memerintah Mataram Kuna di Jawa Tengah. Sudah selayaknya kita tidak lagi memandang perbedaan sebagai halangan, tetapi sebagai alasan untuk hidup dengan menjunjung tinggi kebersamaan.