You are currently viewing Lawang Ombo, Saksi Bisu Perdagangan Opium di Jawa

Lawang Ombo, Saksi Bisu Perdagangan Opium di Jawa

Teman cerita pernah dengar opium? Di wilayah Jawa opium disebut sebagai madat atau candu. Sebenarnya opium merupakan salah satu tanaman bunga yang tumbuh di wilayah subtropis. Getah dari bunga ini dapat digunakan sebagai bahan baku obat seperti morfin. Namun, ketika digunakan berlebihan dapat mengakibatkan kecanduan hingga kematian.

ladang opium

Belum ada sumber pasti kapan dan siapa yang pertama kali membawa opium ke Nusantara. Namun, sejak abad ke 18 VOC sudah mulai memperdagangkan opium di wilayah kolonialnya dan di dunia internasional. VOC membawa opium dari wilayah Bengal, India yang kemudian dibawa ke wilayah Asia Tenggara termasuk ke wilayah Jawa, Bali, dan Makasar. Opium menjadi salah satu sumber pendapatan yang cukup penting bagi VOC (Souza, 2007). Perlahan-lahan VOC mulai memonopoli perdagangan opium. Pada 1677 VOC melakukan perjanjian dengan Raja Amangkurat II agar VOC menjadi importir opium bagi kerajaan Mataram. 

Orang Jawa menggunakan candu (KITLV)

Opium lama kelamaan mulai marak di wilayah Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semarang, Madiun, Kediri menjadi sumber pendapat tertinggi dari hasil penjualan opium. Selama abad ke 19 wilayah tersebut bisa dibilang menjadi pusat dari petani opium. Wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa juga menjadi wilayah dengan populasi konsumsi opium tertinggi. Namun, tidak semua wilayah di Jawa dipengaruhi oleh perdagangan opium. Wilayah Jawa Barat dan Banten masih bisa menahan penetrasi perdagangan opium.

Penyelundupan Opium

Permintaan opium di wilayah Jawa pada sekitar abad 19 cukup tinggi. Pemerintah kolonial kemudian mulai melakukan pengetatan distribusi opium dengan mengeluarkan kebijakan opium regie. Kebijakan ini merupakan sistem yang mengatur produksi dan penjualan opium di Hindia Belanda. Kebijakan ini dinilai menguntungkan bagi pemerintah kolonial Belanda karena mereka memonopoli seluruh penjualan opium.

Tingginya permintaan dan mahalnya harga opium membuat penyelundupan opium semakin marak. Penyelundupan ini banyak dilakukan di orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya menyuap para pejabat untuk memudahkan bisnis mereka. Kebanyakan opium yang masuk ke Jawa berasal dari Singapura melalui Jepara, atau Rembang. Lebih dari 50% opium yang masuk ke jawa merupakan opium ilegal.

Para penyelundup ini biasanya menggunakan pihak perantara untuk bisa mendapatkan opium ini. Opium ilegal ini biasanya akan diselundupkan dari Bali. Setelah dari Bali, kapal-kapal yang membawa opium selundupan akan bertemu di lokasi tertentu untuk menunggu dijemput para kurir asal pantai utara Jawa. Kurir ini yang nantinya akan membawa opium ke wilayah Jawa.

Rumah Lawang Ombo

Jika kita berkendara dari kota Semarang terus ke arah barat menyusuri pantai tara, maka seharusnya kita akan tiba di suatu wilayah bernama Lasem. Lasem merupakan salah satu pemukiman orang Tionghoa di Jawa Tengah. Warga Tionghoa yang bermukim di wilayah Lasem berasal Kabupaten Zhangzhou, Provinsi Fujian. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng yang ada di Provinsi Fujian (Suliyati, 2009). Kebijakan-kebijakan VOC yang mendiskreditkan orang orang Tionghoa membuat wilayah Lasem semakin ramai.

Wilayah Lasem sangat strategis karena lokasinya yang berdekatan dengan laut. Pantai utara Jawa menjadi salah satu corong masuknya opium ilegal ke wilayah Jawa, termasuk Lasem. Salah satu saksi bisu praktik penyelundupan opium ke pulau jawa ialah sebuah rumah di daerah Dasun, Lasem. Pada masa sekarang orang-orang mengenalnya dengan rumah Lawang Ombo. Lawang Ombo sendiri berarti Pintu Lebar, Lawang berarti Pintu dan Ombo berarti Lebar.

lawang ombo
Lawang Ombo (Feri Latief/kesengsemlasem.com)

Lawang Ombo dikelilingi oleh tembok tinggi. Rumah ini memiliki tiga bangunan utama pada bagian tengah. Diantara bangunan dipisahkan oleh semacam teras. Pada sisi timur terdapat bangunan rumah pula sedangkan pada sisi barat terdapat makam. Bangunan rumah bagian tengah memiliki dua lantai. Rumah ini digunakan sebagai tempat tinggal. Pada bangunan ini juga terdapat altar pemujaan. Sisi utara rumah berbatasan langsung dengan klenteng Cu An Kiong, klenteng tertua di Lasem.

Alatar Pemujaan (Feri Latief/kesengsemlasem.com)

Keaslian rumah Lawang Ombo masih bertahan. Ketika kita masuk ke dalam halaman rumah, maka kita disambut dengan ornamen-ornamen khas Cina. Selain itu pengunjung juga bisa melihat jangkar kapal yang diduga digunakan oleh armada kapal Cina saat itu. Ubin berwarna merah yang sudah mulai tergerus adalah saksi bisu langkah-langkah perdagangan opium di seluruh pulau Jawa. 

Terdapat sedikit perbedaan pendapat mengenai siapa pemilik awal Lawang Ombo ini. Dilansir dari kesengsemlasem.com, menurut Agni Malagina rumah Lawang Ombo ini dibangun pada akhir abad ke-18. Pemiliknya adalah seorang pejabat rendah asal Cina yang bergelar dengshilang bernama Lim Cui Sun. Agni menduga menduga bahwa dia adalah pemilik Lawang Ombo yang pertama. Keturunan dari Lim Cui Sun ialah seorang kapiten Cina bernama Lim King Siok. Lim terbaring di tempat peristirahatannya yang terakhir tepat di pekarangan samping rumahnya.

Makam di halaman Lawang Ombo (Feri Latief/kesengsemlasem.com)

Sementara itu, menurut Lestari dalam tulisannya berjudul The Dark Side of the Lasem Maritime Industry: Chinese Power in Opium Business in the XIX Century (2009), rumah ini dibeli oleh Lim King Siok dari Tong Kei dan Tong Dei setelah mereka berdua meninggal. Tidak diketahui secara pasti penyebab kematian Tong bersaudara. Dokumen tertulis menunjukan bahwa mereka dimakamkan di daerah Juwana (Jepara).

Tong bersaudara merupakan salah satu sindikat besar dalam penyelundupan opium. Mereka memasok opium selundupan dalam jumlah besar yang dibawa dari sungai Lasem menuju rumah mereka. Tong bersaudara membuat sebuah lubang yang menjadi jalur selundupan mereka. Opium dibawa dari sisi utara rumah Tong bersaudara kemudian disimpan di belakang rumah mereka. Selanjutnya distribusi dilakukan dengan menggunakan kereta kerbau atau kereta kuda atau dipikul. Hingga kini, lubang selundupan ini masih bisa ditemukan di rumah Lawang Ombo.

Lasem menjadi bukti resistensi dari praktik monopoli VOC. Kini, sejarah dan budaya Lasem harus terus dipertahankan agar bisa menjadi pelajaran bagi kita di masa depan.

Baca juga: Rekomendasi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Indonesia yang Bisa Kamu Kunjungi, Salah Satunya Ada di Lasem, lho!

 

Referensi

  1. Lestari, S. N., & Wiratama, N. S. (2018). The dark side of the Lasem maritime industry: Chinese power in opium business in the XIX century. Journal of Maritime Studies and National Integration2(2), 91-100.
  2. Rush, J. R. (2007). Opium to Java: revenue farming and Chinese enterprise in colonial Indonesia, 1860-1910. Equinox Publishing.
  3. Souza, G. B. (2009). Opium and the Company: Maritime Trade and Imperial Finances on Java, 1684-1796. Modern Asian Studies, 113-133.
  4. Subagio, D. D. (2013). Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Rumah Candu di Lasem. In Prosiding The 5 th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globalization (pp. 121-132).
  5. Sudarwani, M. M., Purwanto, E., & Rukhayah, S. (2018). Akulturasi Dalam Arsitektur Rumah Tinggal Lasem: Studi Kasus Rumah Liem King Siok. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan13(2), 158-168.
  6. Suliyati, T. (2009). Melacak Jejak Budaya Cina Di Lasem. Dalam Seminar Nasional, Menyusur Sungai Meretas Sejarah Cina di Lasem, tanggal 5 Desember 2009.
  7. https://kesengsemlasem.com/mengenal-lawang-ombo-rumah-opium-di-lasem

Azmi Gagat

Senang membaca dan menulis mengenai sejarah, budaya, dan, arkeologi.

Tinggalkan Balasan