You are currently viewing Sejarah Bioskop di Indonesia: Kemunculan dan Dinamika

Sejarah Bioskop di Indonesia: Kemunculan dan Dinamika

Halo, Teman Cerita! Kapan kalian terakhir kali pergi ke bioskop? Pasti sudah lama sekali, ya? Sambil menahan rindu nonton di bioskop, kali ini Skalacerita akan mengajak kalian untuk menelusuri sejarah bioskop di Indonesia. Apakah kalian sudah tahu? Jika belum, yuk simak cerita berikut ini!

Awal Mula Sejarah Bioskop di Indonesia

Kehadiran Bioskop di Indonesia bermula dengan munculnya budaya menonton “Gambar Idoep” atau “Film Bisu”. Gambar Idoep pertama kali hadir di Hindia Belanda tepatnya di Batavia pada tahun 1900. Kemunculannya diketahui dari iklan surat kabar Bintang Betawi yang terbit pada 30 November 1900.

iklan bioskop
Iklan Bioskop pada surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië Sumber: delpher.nl

Dalam Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang ditulis oleh Budiarto Danujaya dkk, menyebutkan bahwa pada tanggal 05 Desember 1900, masyarakat Hindia-Belanda sudah dapat menyaksikan gambar idoep. Pernyataan tersebut termuat dalam surat kabar Bintang Betawi (04-12-1900) dan Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (05-12-1900).

“Besok hari Rebo 5 Desember 1900 PERTOENDJOEKAN BESAR JANG PERTAMA didalem satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) moelain poekoel toedjoe malem, Harga Tempat: klas Satoe f2, klas Doewa f1, klas Tiga f0,50” Inilah iklan yang ada di surat kabar Bintang Betawi yang terbit pada tanggal 12 Mei tahun 1900.

Gambar Idoep pertama adalah film dokumenter berjudul Masoeknja Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama jang moelija Hetog Hendrik ke dalam kota Den hag dengan harga tiket; f2 untuk kelas satu, f1 untuk kelas dua, dan f0,50 untuk kelas tiga.

Sejarah Bioskop di Indonesia sebagai Tempat Pertunjukan

Pada awalnya, tempat pertunjukkan gambar idoep berlokasi di lapangan terbuka dengan bangunan semi permanen dan berpindah-pindah. Tjasmadi dalam 100 tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000) menyebutkan bahwa pada tahun 1903 baru muncullah sebuah bioskop profesional bagi kaum berada dan diberi nama “The Royal Bioscope”.

Bioskop Kranggan di Surabaya
Bioskop Kranggan di Surabaya
sumber: KITLV

Bioskop dengan bangunan semi permanen di lapangan terbuka dan berpindah-pindah tersebut dipelopori oleh Tuan Talbot di Jalan Kebonjae, Tanah Abang (sebelah dealer mobil Maatschapij Fuch). Bioskop di dalam sebuah bangunan permanen dipelopori oleh Tuan Scharwz di kediamannya yang terletak di Kebondjae, Tanah Abang.

Lahirnya The Royal Bioskop telah membangkitkan antusiasme para pengusaha untuk turut ikut membuka bisnis baru tersebut di daerah tempat tinggal mereka. Ruppin dalam The Komedi Bioscoop: Early Cinema in Colonial Indonesia menyebutkan bahwa bioskop kemudian menyebar dan berdiri di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya. Pada tahun 1920, pembangunan gedung bioskop baru memperhatikan struktur dan unsur bangunan dan peralatan yang memadai.

Bioskop Majestic di Bandung
Bioskop Majestic di Bandung
sumber: KITLV

Tjasmadi juga memberikan data dari Oranje Deli Bioscoop-Bedrif, menjelaskan bahwa pada tahun 1936 terdapat kurang lebih 225 Bioskop di wilayah Hindia-Belanda. Termasuk di antaranya adalah Bioskop Globe di Sawah Besar Jakarta dan Bioskop Kranggan di Surabaya.

Stratifikasi Sosial Dalam Bioskop

Stratifikasi sosial dalam bioskop terlihat jelas dari pembagian kelas dan perbedaan tarif harga tiket masuk berdasarkan strata masyarakat yang ada pada masa itu. Hal tersebut diketahui dari iklan bioskop pada surat kabar yang memuat tentang tiga jenis tiket bioskop.
Dalam iklan tersebut juga memperjelas bahwa Inlanders atau orang pribumi memiliki posisi tempat duduk pada golongan kelas ketiga atau kelas yang paling rendah. Dengan adanya golongan kelas tersebut, terdapat perbedaan dalam pelayanan dan fasilitas.

bioskop
Suasana di dalam Bioskop masa Hindia Belanda

Tjasmadi juga menjelaskan pada masa Hindia-Belanda hingga masa pendudukan Jepang tahun 1942, berlaku empat golongan atau strata masyarakat sebagai dasar untuk menentukan kelas pada bioskop, antara lain:

  1. Masyarakat Eropa (Europeaan)
    Golongan ini adalah orang-orang Belanda dan ras kulit putih yang datang dari Eropa dan termasuk ke dalam strata kelas satu (strata paling atas).
  2. Masyarakat Timur Asing
    Golongan ini adalah orang-orang pendatang dari timur, seperti India, Jepang, Tiongkok, dan lain-lain dan termasuk ke dalam strata kelas dua.
  3. Masyarakat Indo-Belanda (Indo-Indisch)
    Golongan ini adalah orang-orang keturunan campuran Indonesia-Belanda dan termasuk ke dalam strata kelas tiga
  4. Masyarakat Pribumi (Inlander)
    Golongan ini adalah penduduk asli atau pribumi yang sejak awal sudah menetap di Hindia-Belanda (Indonesia) dan termasuk ke dalam strata kelas empat.

Walaupun demikian, beberapa orang Eropa juga tidak keberatan untuk menonton bersama dengan kelas yang lebih rendah saat tiket kelas satu habis.

Nah, itulah sedikit cerita mengenai sejarah bioskop di Indonesia. Bagaimana, Teman Cerita? Sungguh menarik, bukan? Apakah di daerah tempat tinggal kalian ada bangunan lama yang dulu berfungsi sebagai bioskop? Jika ada, share di kolom komentar, ya!

Referensi:

  1. Abduh Aziz, M.; Haris Jauhari; Abduh Aziz, M.; Budiarto Danujaya; Johan Casmadi. (1992.). Layar perak: 90 tahun bioskop di Indonesia / editor,
  2. Haris Jauhari; ditulis berdasarkan penelitian M. Abduh Aziz … [et al.] ; penulis, Tjasmadi pengantar Asrul Sani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,.
  3. Erwantoro, H. (2014). Bioskop Keliling Peranannya Dalam Memasyarakatkan Film Nasional Dari Masa Ke Masa. Patanjala, 6(2), 285-300.
  4. Tjasmadi, H. J. (2008). 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
  5. Ruppin, Dafna. (2017). The Emergence of a Modern Audience for Cinema in Colonial Java. BIJDRAGEN TOT DE TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 173, 475-502.
  6. Ruppin, D. (2016). The Komedi Bioscoop: Early Cinema in Colonial Indonesia. Leicester Road: John Libbey Publishing Ltd.

Khaesyar Nisfhan

Seorang lulusan Arkeologi yang tertarik dengan arsitektur, seni, dan kebudayaan masa kolonial.

Tinggalkan Balasan