Sky Burial: Tradisi Pemakaman Kuno di Tibet

  • Published
  • Posted in Budaya
  • 5 mins read

Sky burial memberikan kesan yang unik bagi banyak orang. Terutama untuk mereka yang belum terbiasa dengan tradisi pemakaman yang satu ini. Pada umumnya, anggota keluarga akan memusarakan jenazah ke dalam tanah atau membakarnya melalui proses kremasi. Lain halnya dengan upacara pemakaman langit yang ada di Tibet.


drigung-monastery
The Tibet Album. “Drigung thil monastery” 05 Dec. 2006. The Pitt Rivers Museum. <http://tibet.prm.ox.ac.uk/photo_2001.59.15.10.1.html>

Terletak di pegunungan dengan tinggi 3600 mdpl, Lhasa menjadi kota di mana sky burial lazim dilakukan. Kontur tanahnya yang curam dan penuhi dengan bebatuan membuat masyarakat kesulitan menggali tanah dan mencari kayu bakar untuk mengubur atau membakar jenazah. Hal ini yang memicu adanya praktik pemakaman langit, di mana sekelompok burung pemakan bangkai akan memakan jasad manusia yang telah meninggal.


Meskipun dianggap mengerikan oleh sebagian orang, ritual yang dikenal dengan nama Jhator menjadi suatu rangkaian yang sakral bagi masyarakat penganut Buddha Vajrayana di Lhasa, Tibet.  Mereka menganggap sky burial membantu proses reinkarnasi karena mempercepat perpindahan arwah menuju surga.


Menggendong jenazah menuju bukit pemakaman langit

sky-burial
The Tibet Album. “Corpse being carried from Lhasa for sky burial” 05 Dec. 2006. The Pitt Rivers Museum. <http://tibet.prm.ox.ac.uk/photo_1998.285.194.1.html>

Umumnya, pihak keluarga akan membawa saudara mereka yang telah wafat ke Kuil Drigung untuk didoakan. Jenazah tersebut akan tinggal di dalam kuil selama kurang lebih tiga hari. Sebelum matahari menyingsing yang ketiga kalinya pasca kematiaan, seorang anggota keluarga akan menggendong jasad menuju bukit tempat pelaksanaan sky burial.


Para bikkshu, sekitar sepuluh hingga lima belas orang jumlahnya, akan berkumpul untuk melantunkan doa-doa pada jenazah. Ketika kidung-kidung sakral telah usai diucapkan, petugas pemakaman langit pun bergegas mempersiapkan diri.


Para petugas pemakaman segera menghantamkan kapak mereka pada jenazah. Mereka melakukan ini untuk memisahkan antara daging dengan tulang. Ratusan Burung Nasar kelaparan yang telah menunggu pun segera menyerbu dan memakan jenazah tersebut. Biasanya, masih ada tulang yang tersisa. Petugas pemakaman pun akan mencampur tulang belulang tersebut dengan bubuk tsampa, adonan tepung barli dan mentega. Tujuannya agar burung pemakan bangkai dapat memakannya hingga habis.


Burung Nasar sebagai titisan malaikat

sky-burial
The Tibet Album. “Vultures at sky burial” 05 Dec. 2006. The Pitt Rivers Museum. <http://tibet.prm.ox.ac.uk/photo_1998.285.361.html>.

Masyarakat Lhasa meyakini sekelompok Burung Nasar yang hidup berkelompok dan tinggal di area pegunungan ini sebagai titisan Dakini. Mereka mempercayai Dakini, yang dalam bahasa sankskrit memiliki makna penari langit, merupakan manifestasi malaikat langit yang membantu perpindahan arwah menuju surga.


Burung-burung pemakan bangkai ini akan segera memakan jasad yang telah dipisahkan antara daging dan tulangnya. Semakin bersih daging dari jenazah yang dimakan oleh para titisan Dakini ini, maka mendiang dianggap memiliki karma yang baik semasa hidupnya.


Terdapat pandangan lain yang menilai bahwa masyarakat di sekitar Drigung Monastery melakukan ritual ini sebagai bentuk kepedulian terhadap makhluk hidup. Agama Buddha yang mengajarkan bahwa manusia harus memberikan manfaat pada makhluk lain dianggap sebagai pemicu terciptanya budaya sky burial. Masyarakat Buddha Vajrayana di Lhasa, Tibet beranggapan bahwa memberikan tubuh mereka untuk dimakan oleh burung pemakan bangkai merupakan wujud bakti pada alam.


Senada dengan kisah Pangeran Sattva di Pakistan yang tidak tega melihat seekor singa dan anak-anaknya yang kelaparan. Hingga ia rela untuk terjun dari atas tebing agar tubuhnya dapat sekelompok singa tersebut dapat memakan tubuhnya.


Ritual yang esensi kesakralannya terancam


Prosesi sky burial bukanlah hal yang lazim dilakukan di berbagai belahan dunia. Menjadi wajar apabila banyak wisatawan mancanegara yang penasaran dan ingin melihat ritual Jhator secara langsung di Tibet.


Sayangnya, setelah pihak otoritas Tiongkok menjadikan sky burial sebagai objek wisata, banyak wisatawan yang tidak mengindahkan peraturan sehingga dianggap tidak menghargai mendiang. Dengan kamera canggih, para pengunjung sibuk mengabadikan ritual sakral tersebut dalam bentuk foto atau rekaman video.


Dalam video berjudul Sky Burials: Tradition Becomes Controversial Tourist Attraction yang dirilis oleh National Geographic, para bikkhsu dari Kuil Drigung menyayangkan perilaku wisatawan yang mengabadikan prosesi pemakaman tersebut. Para pengunjung dianggap memperlakukan sky burial sebagai objek wisata tanpa berempati pada keluarga mendiang.


Pihak Drigung Monastery melarang wisatawan untuk  memotret atau merekam upacara Jhator bukan tanpa alasan. Dengan perkembangan teknologi masa kini, kemungkinan foto dan video untuk tersebar luas di internet sangat besar. Hal inilah yang nantinya akan melukai perasaan keluarga yang ditinggalkan. Melihat jasad saudara mereka yang telah wafat menjadi tontonan massal di berbagai platform tentunya menjadi sesuatu yang melukai hati.


Meskipun mayoritas masyarakat Buddha Vajrayana di Lhasa, Tibet melaksakan pemakaman dengan metode sky burial, tidak semua jenazah bisa dikebumikan dengan cara ini. Pasalnya, terdapat berbagai kriteria yang melarang jasad untuk menerima ritual sakral yang telah dilaksanakan sejak tahun 1100-an ini.


Seperti jenazah dari manusia yang masih berusia di bawah 18 tahun, wanita yang meninggal semasa mengandung, serta jasad yang wafat karena kecelakaan dan memiliki riwayat penyakit tertentu. Jenazah yang memiliki riwayat penyakit berbahaya dilarang untuk menerima prosesi pemakaman dengan cara ini karena khawatir burung-burung pemakan bangkai ini akan tertular penyakit.