Buat manusia yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (re: daerah perkotaan-padat penduduk-sana sini mentok), jalan-jalan ke taman kota bisa jadi kegiatan yang menyenangkan. Selain jadi tempat cuci mata, ruang terbuka seperti taman kota di Jakarta juga sering dimanfaatkan buat sarana olahraga atau sekadar duduk-duduk.
Kalo dilihat dari sejarahnya, taman kota memang dari dulu difungsikan sebagai tempat rekreasi, tempat perbaikan lingkungan, dan alat kontrol sosial. Kok bisa jadi alat kontrol sosial? Bisa dong, soalnya dulu taman kota memang dibentuk jadi pembatas buat lingkungan yang berbeda kondisi sosial dan ekonominya.
Kalo diminta sebutin taman kota, pasti akan banyak yang langsung sebut Monumen Nasional (Monas) atau tetangganya, Lapangan Banteng. Buat yang sering nongkrong di daerah elit Menteng, bisa jadi nyebutin Taman Suropati. Tiga taman itu emang udah terkenal banget buat jadi tempat rekreasi.
Tapi tau gak kalo saat zaman Belanda dulu, taman-taman yang tadi disebutin ada yang pernah jadi tempat pertunjukkan musik band militer? Bahkan ada juga taman yang jadi tempat eksekusi!
Kalo penasaran, yuk disimak cerita menarik di balik masing-masing taman tadi.
Lapangan Monas (Monumen Nasional)

Lahan yang dulu bernama Koningsplein ini terletak di wilayah Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat dan sekitarnya). Pada buku Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI karya Adolf Heuken, lahan ini awalnya jadi tempat pembuatan batu bata, sehingga banyak kubangan besar yang sering didatangi kerbau.
Makanya tempat ini sempat disebut Bufflesveld yang artinya lapangan banteng. Eits, tapi lapangan banteng ini beda dengan Lapangan Banteng yang sekarang tetangaan sama Monas ya.
Setelah jadi tempat ngumpul kerbau, dalam Historical Sites of Jakarta (Seventh Edition) karya Adolf Heuken lahan ini dibeli sama Daendels, sang pelopor jalan raya Anyer-Panarukan.
Nama Koningsplein sendiri baru diberikan pada lahan ini di tahun 1818 yang artinya lapangan raja. Sebelumnya, Daendels kasih nama Champ de Mars di tahun 1809. Dalam buku Riwayat Monumen Nasional, sebutan gat in de stad (lubang di tengah kota) juga pernah disematkan pada lahan ini.
Pada 1810, Daendels dapat kabar kalau benteng di Ambon yang berada di bawah pimpinan Kolonel J.P.F. Filz berhasil dikuasai Inggris. Daendels yang merasa gak puas dengan hal itu, apalagi setelah tau kalo proses penyerahannya tanpa perlawanan berarti. Akhirnya dia melakukan eksekusi terhadap Kolonel J.P.F. Filz di Koningsplein.
Cerita Koningsplein gak selamanya kelam kok. Mulai dari paruh abad ke-19, lahan ini mulai difungsikan untuk berbagai kebutuhan, terutama hiburan. Pembangunan Monas di tahun 1961 menjadi penanda hilangnya nama Koningsplein. Lahan ini juga pernah disebut sebagai Lapangan Gambir, atau Lapangan Ikada.
Lapangan Banteng

Lahan yang pertama kali difungsikan sebagai taman kota di Weltevreden adalah Waterlooplein. Dalam Atlas Sejarah Jakarta karya Adolf Heukeun, sebelum dikasih nama Waterlooplein, lahan ini merupakan milik seorang tuan tanah bernama Anthony Paviljoen dan sempat dimanfaatkan oleh petani Tionghoa sebagai kebun dan sawah.
Tahun 1800, lahan ini lebih dikenal sebagai Paradeplaats yang digunakan untuk tempat latihan militer. Baru deh di tahun 1828, ketika Gubernur Jenderal du Bus mendirikan monumen Battle of Waterloo di lahan tersebut, muncul nama Waterlooplein. Bentuk monumen yang sekarang udah gak ada lagi ini berupa tiang besar berwarna putih dengan seekor singa di atasnya.
Waterlooplein langsung jadi tempat favorit para orang Eropa untuk nongkrong dan bersantai. Biasanya mereka berkumpul sambil menunggang kuda. Setiap hari Minggu siang, diadakan pertunjukkan musik band militer yang menarik banyak penonton. Setelah kemerdekaan, nama Waterlooplein diubah jadi Lapangan Banteng.
Taman Suropati

Adanya Taman Suropati gak bisa dipisahkan dari rencana perluasan wilayah untuk memenuhi kebutuhan penduduk Batavia, terutama orang Eropa yang semakin banyak di awal abad ke-20. Pengembangan Nieuw Gondangdia yang sekarang dikenal sebagai Menteng dirancang dengan konsep kota taman (Garden City) pertama di Indonesia.
Kawasan yang mulai dibangun tahun 1911 ini, direncanakan berpusat pada sebuah lapangan bundar yang luas dan dikelilingi bangunan umum. Dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century karya Christopher Silver, disebutkan bahwa rencana awal dianggap kurang praktis sehingga perlu diubah.
Lapangan bundar luas yang tadinya akan menjadi pusat wilayah Menteng, diubah jadi taman dengan ukuran yang lebih kecil. Pembangunan taman baru direalisasikan tahun 1920. Dalam buku Menteng: ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia, taman ini kemudian diberi nama Burgemeester Bischopplein yang berasal dari nama Walikota Batavia pertama, yaitu G. J. Bischop.
G. J. Bischop merupakan walikota yang menjabat pada 1916 sampai 1920. Selama memerintah Gementee Batavia, G. J. Bischop jadiin pertamanan sebagai salah satu sektor penting. Pemerintahannya dikala itu benar-benar mencurahkan perhatiannya pada pembuatan dan perawatan taman. Baru deh setelah kemerdekaan, taman ini diubah namanya jadi Taman Suropati.
Setelah baca cerita tentang taman kota tadi makin penasaran gak untuk cepet-cepet berkunjung?
Karena bukan sembarang taman, bisa banget dicoba buat dikunjungin kalo lagi keabisan ide tempat buat nge-date. Fasilitas yang ada di taman-taman itu pun udah lengkap dan menarik banget.
Taman-taman di Jakarta ini udah ada lapangan olahraga, tempat jajan, dan toilet. Bahkan kalo berkunjung ke Lapangan Banteng tiap Sabtu dan Minggu malam, ada pertunjukkan air mancur menari gratis. Tenang, walaupun jomblo tetep kok bisa kesini dan menikmati indahnya taman kota di Jakarta sambil olahraga atau sekadar foto-foto buat konten sosmed.
Referensi:
- Byrne, Jason and Jennifer Wolch. “Nature, Race, and Parks: Past Research and Future Directions for Geographic Research.” Progress in Human Geography 33.6, 2009: 743-765.
- Heuken, Adolf. Atlas Sejarah Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2014.
- —. Historical Sites of Jakarta (Seventh Edition). Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2007.
- —. Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2008.
- Heuken, Adolf and Grace Pamungkas. Menteng: ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2001.
- Silver, Christopher. Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century. London dan New York: Routledege, 2007.
- Solecki, William D. and Joan M. Welch. “Urban Parks: Green Spaces or Green Walls?” Cambridge Archaeological Journal 32, 1995: 93-106.