Indonesia yang multi etnis dan multikultural memiliki 1.340 suku bangsa (bps 2010) yang satu sama lainnya memiliki tradisi dan budaya unik. Salah satunya adalah Suku Mentawai yang mendiami wilayah kepulauan di sebelah barat Pulau Sumatera. Tradisi unik Suku Mentawai yaitu tato adat yang hingga saat ini hampir punah di tanahnya sendiri.
Walau ada beberapa etnis yang memiliki tradisi tato atau rajah di tubuh, namun teman cerita pasti sangat familiar dengan dua etnis perajah paling terkenal yaitu Dayak dan Mentawai. Bahkan menurut Encylopedia Britannica Suku Mentawai sudah menato badan mereka sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera pada Zaman Logam pada 1500 SM. Hal ini diklaim merupakan salah satu tradisi tato tertua di dunia
Titi Sebagai Identitas Suku Mentawai
Orang-orang Suku Mentawai menganggap tato yang dalam Bahasa Mentawai disebut titi merupakan pakaian abadi yang akan terus menemaninya hingga kehidupan selanjutnya. Lebih luas lagi, titi memiliki peran sebagai identitas yang membedakan Suku Mentawai dengan suku lainnya dan sebagai karya seni ekspresi sang seniman tato yang disebut sipatiti.
Selidik lebih dalam secara kosmologis, titi biasanya menambahkan juga unsur benda hidup dan benda mati seperti tanaman tertentu, hewan-hewan, serta air dan batu. Sebab menurut aliran kepercayaan hidup Suku Mentawai yang disebut Arat Sabulungan, hewan, tanaman, batu hingga benda mati lainnya sejatinya memiliki roh dan berhubungan dengan kita sebagai manusia.
Baca juga: Contoh budaya non benda dan penjelasannya
Lantas bagaimana dengan kaum muda Mentawai memandang titi sebagai identitas? bagi mereka yang tetap mempraktikan titi, penggunaan figur-figur dan corak seni tertentu dipilih untuk memori kolektif yang membuat ia merasa terhubung dengan leluhurnya.
Sipatiti dan proses perajahan
Pembuatan tato pada tubuh tidak serta merta dilakukan begitu saja bagi suku Mentawai. Ada beberapa tahapan proses yang harus dilakukan berkaitan dengan ritual dan tradisi setempat.
Sebelum melakukan ritual pembuatan titi, masyarakat Mentawai khususnya yang akan melakukan titi biasanya melakukan punen kepa dan punen enegat yang dipimpin oleh sikerei atau dukun desa. Ini bertujuan untuk menghilangkan malapetaka terhadap orang yang akan melakukan titi dan juga orang-orang di sekitarnya.

Ritual pembuatannya dilakukan lewat tiga tahap, yaitu pertama, ketika seseorang berusia 11-12 tahun pada pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun pada paha, dan tahap ketiga setelah dewasa.
Untuk seniman tatonya pun tidak bisa sembarangan. Sipatiti demikian mereka biasa disebut, adalah seniman tato yang telah mempelajari dan memiliki standarisasi baik secara makna, jenis, presisi motif titi dan juga telah diakui secara ritual adat.

Saat ini terhitung hanya beberapa sipatiti yang masih tersisa di Mentawai. Untuk yang termuda adalah Bajak Letcu yang berusia 34 tahun dan masih menjadi sipatiti hingga sekarang.
Titi diambang kepunahan
Menurut mereka titi di era sekarang menjadi hal yang sangat dilematis. Bagaimana tidak, persyaratan pekerjaan saat ini kebanyakan melarang pekerjanya bertato dan juga adanya pandangan negatif tato dari sudut pandang keagamaan.
Kemunduran titi sebagai seni rajah tato etnik tradisional berbanding lurus pula dengan menurunnya jumlah sipatiti yang jarang diminati oleh kaum muda.
Akan tetapi, hingga saat ini berbagai macam gerakan dilakukan untuk pelestarian titi agar tidak punah dan karam di tempat ia dilahirkan